Ngobrol Film; Bumi Manusia - Kata Bojezs
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ngobrol Film; Bumi Manusia


Bumi manusia merupakan 1 dari tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Semenjak Bumi Manusia digaungkan akan digarap menjadi sebuah karya film oleh Hanung, ada begitu banyak pro dan kontra dimulai dari pemilihan casting Iqbal Ramadhan sebagai Minke hingga beberapa scene yang dianggap sedikit berbelok dari novel aslinya. 

Sentuhan Sang Maestro Hanung 

Kepiawaian Hanung Bramantyo sebagai sutradara tidak diragukan lagi. Banyak film besutan Hanung yang sukses meraup untung dan menjadi box office layar bioskop Indonesia. Beberapa bahkan mendapat penghargaan. Melalui Bumi Manusia, Hanung berusaha menampilkan visualisasi dari novel klasik Pram yang mengisahkan romantika dan juga konflik antara pribumi dengan colonial.

Tantangan terbesar Hanung adalah bagaimana dia sebagai sutradara memvisualisasikan secara kronologis babak babak adegan dalam Novel Bumi Manusia sedetail mungkin namun tidak terasa membosankan bagi milenial yang bisa saja bahkan tidak pernah mengenal karya Pram.

Namun Hanung mampu menjawab dengan  menyusun kronologis novel secara mendetail melalui fragmen-fragmen narasi tokoh. Dengan durasi film yang lumayan cukup lama, film Bumi Manusia bisa membuat para penonton tetap penasaran untuk mengikuti ceritanya selama hampir 3 jam.

Terlebih, mengingat jalinan kisahnya yang agak rumit dan kompleks, apalagi bagi yang belum membaca novel aslinya, bisa jadi akan sedikit merasa “jetlag”. Kisah perseteruan pribumi dan pemerintahan colonial yang diwakili dengan romansa percintaan antara dua kasta ini sangat berpotensi membuat ngantuk yang menonton. Hanung dengan cerdas memasukkan sedikit adegan ringan mengandung celetuk komedi sehingga filmnya mampu untuk membuat penonton tetap menikmati alur cerita.

Visualisasi Kolonial

Beban terberat ketika membuat film Bumi Manusia mungkin saja aspek desain set yang sesuai dengan setting colonial seperti dalam novelnya. Detail-detail yang ada seperti alat transportasi, nama lokasi, bahkan hingga diksi dalam pemilihan adegan seperti memasukkan beberapa bahasa Belanda sangat diperhatikan untuk menunjang keseluruhan cerita. Tim teknis cukup mampu menyentuhkan sentuhan masa lalu pada film tersebut. Sayangnya, terdapat beberapa hal yang agak “terlupa” dan mengganjal, terdapat beberapa papan nama yang masih terlihat “baru” baik itu warna dan kondisi.

Namun secara keseluruhan, kita akan dibawa kembali ke masa colonial dengan hal-hal identic yang dibuat. Singkatnya, film Bumi Manusia merupakan salah satu film sejarah yang patut untuk dibanggakan.

Keraguan yang terjawab 

Semenjak kabar bahwa Bumi Manusia akan digarap di layar kaca, Masyarakat, terutama netizen lalu gempar dalam menanggapinya. Hal ini karena mereka tahu bahwa Bumi Manusia adalah mahakarya Pramoedya dan dengan difilmkannya novel tersebut akan merusak keagungan mahakarya tersebut. Terlebih-lebih ketika Iqbal didapuk untuk memerankan Minke, tokoh utama dalam Bumi Manusia. Tanpa menggubris tanggapan dari masyarakat, Hanung tetap bergeming untuk melanjutkan film tersebut.

Bumi Manusia bisa dianggap sebagai pembuktian dari Iqbal Ramadhan yang sebelumnya tidak dipercaya memerankan tokoh Minke.  Iqbal Ramadhan sebagai ikon milenial pada satu sisi dianggap kurang mewakilkan sebagai representasi Minke, sang tokoh utama dalam Bumi Manusia. Iqbal dinilai masih terlalu lekat dalam tokoh terakhirnya, Dilan dan Dilan 1990.  Iqbal mampu memerankan Minke sebagai karakter yang selama ini lekat kepadanya, millennial. Iqbal berubah menjadi karakter Minke yang cerdas, kokoh dan juga berwibawa. Hanya saja, tetap saja dengan penampilan fisik yang kurus dan kumis tipis masih tampak belum meyakinkan secara psikologis bagi saya untuk menggambarkan sosok pribumi Minke seperti yang sebelumnya sudah saya baca melalui novel Bumi Manusia.

Di saat memerankan adegan romansa, terlihat prima, namun tidak begitu saat tampil dengan adegan tampil sebagai sosok yang pintar, pemberontak, dan memiliki intelektual tinggi.  Entah apakah ini merupakan penilaian yang terlalu mengagungkan Minke atau memang saya yang tidak terlalu kemilenialan Minke di Iqbal, hehehe.

Sha Ine Febriyanti yang selama ini lebih dikenal sebagai artist teater terlihat lebih mencuri perhatian penonton dengan superioritas dalam menguasai setiap adegan. Pembawaan Nyai Ontosoroh yang dibawakan dengan tenang dan anggun bisa seketika berubah tegas saat marah dan memberikan kesan tersendiri dalam adegan yang ia lakoni. Mawar De Jongh sebagai Annelis juga mampu membawakan karakter yang polos dan lugu.